Apakah kita mencintai-Nya?
Semua orang merasa paling mengerti tentang cinta, bahasan tentang cinta mudah kita temukan dimana saja, muda mudi terlarut dalam cinta, tua muda semua berbicara tentang cinta, tetapi apa betul kita sudah mengetahui makna “cinta” yang sesungguhnya?
Ternyata pengetahuan kita tentang cinta amatlah dangkal!
Di bulan Dzulhijjah, tak banyak yang tahu bahwa bulan itu berkaitan erat dengan cinta. Tentang sesosok manusia di masa lampau yang mengajarkan tentang apa itu cinta sejati. Menyisakan makna membekas hingga menjadi momentum besar bagi ummat ini.
Dialah ayah kita, Nabi Ibrahim alayhissalam, yang kisahnya sering menyeruak mengiringi datangnya hari besar umat muslimin, Hari Raya Iedul Adha. Walau kisahnya terus di ulang, namun Allah subhanahu wa ta’ala memperkenankan kita untuk terus mendapatkan hikmah dari kisahnya.
Ia yang mengajarkan tentang cinta sejati.
Cinta yang diuji berulang kali, untuk menunjukkan “apakah engkau benar benar cinta?”
_Cinta yang teruji lewat ayahnya yang tidak beriman_
_Cinta yang teruji lewat umatnya yang tidak beriman_
_Cinta yang teruji ketika hendak dibakar hidup-hidup oleh umatnya_
_Cinta yang teruji lewat pasangannya yang tak kunjung mendapatkan keturunan_
_Cinta yang teruji bahkan ketika kebahagiaan buah hati hadir menyelimuti hidupnya, lalu tak lama sang anak yang ia dambakan harus ditinggalkan di tempat yang tak berpenghuni, tak ada penghidupan_
_Cinta yang teruji ketika bertemu dengan buah hati yang teramat ia rindukan, lalu datang perintah untuk menyembelih putra tersayang._
*Lantas, apakah engkau benar-benar mencinta?*
Nabi Ibrahim betul betul menunjukkan rasa cintanya kepada Allah, cinta yang teruji bertubi-tubi, namun sama sekali tidak membuatnya kecewa dan berburuk sangka, malah bertambah rasa cintanya kepada RabbNya.
Cinta yang begitu murni tak bertepuk sebelah tangan, karena cintanya disambut oleh Sang Maha Cinta, Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyematkan gelar terbaik pada sosok Ibrahim “_khalilullaah_” “_kekasih Allah_”
_Maka, apakah kita benar-benar mencintaiNya?_
Ujian hadir pada tiap-tiap kita pada waktu yang tak pernah disangka. Kerap kali kita memandang ujian yang datang dengan sebelah mata, bertanya “_mengapa ujian ini?_”, kekecewaan yang menyeruak pada diri kita, tak terima dengan apa yang terjadi pada hidup kita.
Benarkah kita sungguh-sungguh mencinta?
Rasanya tak seberapa ujian yang menimpa kita dibandingkan dengan ujian yang menimpa orang-orang terdahulu.
Bagaimana kita mengaku mencinta?
_Bahkan ketika harta teruji, berat hati kita untuk berbagi dan memberi_
Bagaimana kita mengaku mencinta?
_Bahkan ketika pekerjaan dan kedudukan, ketakutan pada atasan, benar benar membuat kita disibukkan waktu, menyisakan hanya sedikit waktu untuk Rabb kita_
Bagaimana kita mengaku mencinta?
_Bahkan ketika orang yang kita cinta, orangtua, suami, istri, dan anak kita jatuh sakit, lantas membuat kita kecewa dan bertanya “mengapa ini terjadi pada orang yang kucinta?”_
Bagaimana kita mengaku mencinta?
_Bahkan ketika kehilangan orang yang kita cinta, lantas membuat kita terpuruk dan bersedih lama._
Rasa cinta nabi Ibrahim yang begitu besar, menjadi momentum peringatan bagi ummat ini.
Dari pengorbanan cintanya, meninggalkan Ibunda Hajar dan Ismail kecil berbuah pahala yang tak terhitung oleh bilangan manusia, menembus ruang dan waktu, ribuan tahun lamanya hingga sampai kepada kita
Pengorbanan yang Ibrahim lakukan pada Ismail, menjadi sebuah ibadah yang diikuti oleh seluruh umat muslim yang mempersembahkan taqwa
Tanah yang kala itu tandus kering kerontang menjadi tempat suci yang megah dan diberkahi sepanjang masa
Lari kecil yang dilakukan Ibunda Hajar, menjadi sebuah ibadah yang diikuti milyaran manusia selanjutnya
Bangunan yang Ibrahim dan putranya tinggikan menjadi pusat peribadatan umat muslim di muka bumi ini.
Allah benar-benar telah membalas cinta Nabi Ibrahim alayhissalam.
Begitu besar balasan cinta yang Allah berikan kepada nabi Ibrahim, lewat tak terputusnya kebaikan yang didirikan kekasihnya, hingga menembus waktu, dan kita mampu merasakannya.
_Maka apakah kita benar-benar mencintai Allah?_
Rela mengorbankan segalanya, harta, kedudukan, orang-orang yang kita cintai bahkan nyawa kita untuk Allah?
Berapa banyak kasih sayang Allah yang tercurah pada kita? Lewat semua panca Indera yang ia berikan, tapi malah kita gunakan untuk bermaksiat. Lewat rezeki yang Allah berikan, tetapi amat berat untuk bersedekah. Lewat dihadrikannya orangtua, pasangan, anak-anak, keluarga, tetapi tak mampu mempersembahkan amal terbaik pada orang terdekat kita.
*Sejatinya cintaNya yang telah bertepuk sebelah tangan*
_Kita yang sering mengecewakan Allah_
_Kita yang seringnya tak menyadari kasih sayang yang tak terbilang_
_Kita yang seringnya lalai akan ibadah_
_Kita yang sering menduakanNya dengan gemerlap dunia_
_Kita yang bermaksiat dengan pemberiannya, dengan mata kita, telinga kita, jari jemari kita, semua bagian tubuh kita_
_Kita yang melalaikan panggilan adzan_
_Kita yang malas membaca al-Qur’an_
_Kita yang melalaikan waktu, padahal Allah yang memberikan waktu itu kepada kita_
Maka sejatinya CintaNya yang telah bertepuk sebelah tangan
*Dzulhijjah menjadi momentum pembuktian cinta kita*, bahwa kita rela memberikan segalanya pada Rabb kita, bahwa kita rela mengorbankan apapun untuk Allah semata, dengan harta yang ada, apakah kita mampu mengupayakan persembahan taqwa untuk Rabb kita lewat berkurban? Dengan harta yang telah kita sisihkan, apakah kita mampu membersembahkan taqwa untuk Rabb kita lewat ikhtiyar untuk beribadah haji?
*_Yaa Rabb, izinkan kami mencintaiMu*_
*_Rela mengorbankan seluruh hidup ini untukMu*_
*_Ampuni kami yang selalu berburuk sangka,*_
*_Sedang Engkau selalu mencintai kami tanpa syarat*_
*_Yaa Rabb, Engkaulah yang Maha Cinta*_
*_Kasih sayangMu mengalir setiap hitungan waktu*_
*_Laa haula walaa quwwata illa billaah_*
*_Sesungguhnya kami amatlah lemah, kecil, kerdil dan tak mampu bila tanpa pertolonganMu*_
*_Yaa Allah, kami sungguh mencintaiMu*_
﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾
[ الأنعام: 162]
Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. [Anam: 162]
Sumber:
1. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Terj. Abdullah Haidir. Beirut: Daar Ihya At-Turats Al-Araby, 1997.
2. Al-Qur’anul Karim
_Al Faqiroh Ummu Fathimah_
Komentar
Posting Komentar